Beriman dan Beragama di Tengah Bencana Corona
Oleh Goris LewolebaVirus Corona (Covid-19) merupakan salah satu bencana dunia yang telah mengguncang peradaban umat manusia abad Ini

Oleh Goris Lewoleba Virus Corona (Covid-19) merupakan salah satu bencana dunia yang telah mengguncang peradaban umat manusia abad Ini. Pasalnya, Virus ini telah menimbulkan banyak korban jiwa di berbagai belahan dunia dengan beragam dampak yang amat serius dalam semua bidang kehidupan. Bahwa sebagai bencana non alam yang mewabah secara masif di seluruh dunia, dan dengan berbagai pendekatan penanganan yang didukung oleh diagnosa dan analisis secara ilmiah dari segi teknis medis serta tipologi virus yang menyebar, maka situasi ini dapat saja dipahami dalam batas pengertian dan ruang lingkup akal sehat bagi publik pada umumnya, termasuk publik di Tanah Air. Akan tetapi, hal yang mencemaskan dalam debaran hati nurani setiap orang adalah bahwa, daya ledak penyebaran virus ini yang seolah seperti hamparan meteor yang jatuh ke bumi, dan menimbulkan kepanikan yang luar biasa bagi semua mahkluk manusia penghuni bumi ini. Lalu, secara alamiah dan manusiawi, semua orang akan berpaling kepada Tuhan yang empunya langit dan bumi, untuk mencari perlindungan dan keselamatan melalui setiap ikhtiar dalam beriman dan beragama kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Beriman dan Beragama Dalam sudut pandang dan diksi sosial kontemporer, dapat dikatakan bahwa, orang beriman belum tentu beragama dan sebaliknya, orang bergama belum tentu beriman dalam mengahadapi wabah Virus Corona yang amat berbahaya ini. Terkait dengan hal tersebut di atas, maka sebagaimana dinarasikan oleh Puriningsih (2017), bahwa, orang beragama adalah orang yang rajin beribadah, dan kadang kala menampilkan sosok pribadinya dengan berbagai atribut atau simbol keagamaan yang dianutnya. Sedangkan orang beriman, adalah orang yang percaya dan bertindak sesuai dengan imannya. Hal itu dapat dipertegas dengan pandangan bahwa, Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang dipercaya dan bukti dari segala sesuatu yang tidak dilihat. Karena itu, kerap kali, Iman disebut sebagai misteri bagi setiap orang yang beriman dan beragama. Lebih lanjut dapat pahami bahwa, ekspresi dari orang beragama adalah orang yang percaya bahwa Tuhan itu ada, sedangkan ungkapan kesalehan dari orang beriman adalah orang yang percaya bahwa Tuhan itu hadir dalam setiap perilaku dan praksis kehidupan. Dalam ekspresi kesalehan sosial, dapat disinyalir juga bahwa, mungkin karena ketekunannya beribadah, maka orang beragama sering merasa dirinya paling benar, paling suci, dan paling dekat dengan Tuhan. Dan orang beriman memandang setiap orang adalah sesamanya yang tetap setara dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dengan demikian, maka orang beragama mudah melihat perbedaan dan sensitif terhadap perbedaan dimaksud. Sedangkan orang beriman cenderung mencari persamaan, menerima perbedaan dan mau mendengarkan orang lain. Pihak yang berbeda agamanya tetaplah dilihat sebagai sesamanya dalam sudut pandang kemanusiaan. Oleh karena itu, dapat pula dikatakan bahwa, baik atau buruknya manusia tidak dapat ditentukan oleh agama yang dianutnya, melainkan dilihat dari perbuatan yang dilakukan demi suatu kebaikan bersama yang jauh melampaui akal dan pikiran manusia. Dalam praktek dan pengalaman hidup, kerap kali publik diperlihatkan dengan pemandangan bahwa, orang beragama sering mementingkan simbol, atribut, dan hal ritual agamanya saja. Sebaliknya, orang beriman mengembangkan kebijaksanaan dalam ekspresi iman yang tenang secara mendalam dan penuh kedamaian, dengan mengedepankan berbagai keutamaan hidup. Meski pandangan seperti tersebut di atas tampak dikotomis, dan seolah berada pada simpul perbedaan dalam wacana secara diametral antara Beriman dan Beragama, tetapi pada dasarnya Beriman dan Beragama merupakan dua sisi dari satu mata uang, sehingga yang satu tidak bisa meniadakan yang lain. Pasalnya, agama merupakan pengungkapan iman dalam pengertian yang lebih luas. Dikatakan demikian, karena dalam agama, iman mendapatkan bentuknya yang lebih khas, dan memampukan orang beriman mengkomunikasikan imannya dengan orang lain, baik yang beriman maupun yang tidak beriman. Dalam agama, orang memperkenalkan sikap hatinya di hadapan Tuhan. Sikap manusia di hadapan Tuhan antara lain tampak dalam sikap dan tanggung jawabnya terhadap seisi alam semesta di mana manusia hidup. Agama memang lebih bersifat lahiriah, maka akan selalu ada konsekuensi logis yang dengan sendirinya menjadi bersifat formalistik. Dengan demikian, dalam kasus dan situasi tertentu, sering kali orang yang hanya mementingkan ritus dan ritual serta simbol dan atribut dalam bergama maka, kadang kala, tampilannya menjadi tampak kosong dan tanpa isi. Oleh karena itu, yang pokok bukanlah hal-hal yang bersifat lahiriah. Namun demikian, tanpa bentuk yang nyata, maka komunikasi iman tidak mungkin akan terjadi secara maksimal dalam kenyataan hidup. Biasanya, sikap batin merupakan hal yang paling penting, namun tanpa pengejawantahan yang jelas, maka iman tidak pernah akan sungguh tampak dan terasa manusiawi. Maka dari itu, penghayatan iman memerlukan agama, sehingga dengan demikian, di dalam praktek, tidak ada iman tanpa agama, meski iman tidak pernah bersifat umum dan seragam, walau umat beriman memeluk satu agama yang sama. Agama dan Bencana Ketika suatu peristiwa bencana terjadi dalam hidup manusia, entah dalam bentuk bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami serta liqufaksi seperti di Palu Sulawesi Tengah pada tahun yang lalu, atau Gempa Bumi dan Tsunami Aceh pada beberapa tahun silam, maupun bencana non alam seperti Wabah Virus Corona (Covid-19) yang saat ini telah menimbulkan banyak korban nyawa, lalu muncul pertanyaan bagi kalangan umat beragama, apa peran dan relevansi agama di tengah bencana ? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut di atas, baik kiranya kalau melihat pandangan Albertus Patty (2006) yang mengatakan bahwa, dalam situasi dan kondisi bencana seperti itu, dibutuhkan peran agama yang membebaskan manusia dari penderitaan. Dibutuhkan peran agama yang lebih fungsional, yang memancarkan kebesaran Kasih Tuhan melalui praksis pembebasan dan cinta pada kemanusiaan. Dalam pemahaman seperti ini, agama justeru seringkali tidak dapat menghadirkan diri sebagai kekuatan tranformatif. Alih-alih menolong dan membebaskan korban, agama sibuk dengan upaya spekulatif menjelaskan sebab musabab terjadinya bencana. Dalam hubungannya dengan ini, agama kerap menempatkan dirinya sebagai sumber segala pengetahuan, sehingga semua yang terjadi di dunia seolah sudah ada jawabannya pada agama. Kemudian pada sisi yang lain, agama mengedepankan pandangan dan prinsip moral yang kuat, yang dilandasi oleh doktrin dasar tentang Kemahakuasaan Tuhan. Berkenaan dengan realitas itu, maka dengan meminjam Paradigma Voltaire sebagaimana dikutip oleh Albertus Party (ibid) , muncul pandangan yang “menuding” Allah sebagai pangkal segala bencana. Oleh karena itu, ketika gempa dahsyat yang terjadi di Lisabon yang memusnahkan hampir sepertiga dari seluruh penduduknya, maka Voltaire menjadi marah besar. Dia menuding Allah sebagai penyebab bencana, karena Dia adalah penganut aliran teologi konservatif. Pada titik dan momentum seperti ini, kerap kali orang beragama sering terjebak dan jatuh pada situasi iman yang oleh Postinus Gulo (2020), disebut sebagai Fideisme . Fideisme merupakan suatu kecenderungan situasi yang merendahkan peranan akal budi dalam menguji tuntutan-tuntutan keagamaan. Kaum Fideisme terlalu berorientasi pada keputusan bebas dari iman, dan karena itu, acap kali orang beragama menganggap bahwa pada dasarnya, iman itu berpisah dengan akal budi. Dan dengan demikian, maka segala sesuatu dapat diselesaikan hanya dengan iman saja. Pandangan ini lebih mengedepankan peran dan orientasi yang dominan dari Iman dengan tidak memperhitungkan terang akal budi dan cenderung tidak mempertimbangkan berbagai aspek-lain, atau tidak mengikuti prinsip dasar ilmu pengetahuan, serta fenomena alam yang sedang terjadi di sekitar kita. Dalam konteks situasi masa kini, dapat kita percaya bahwa, Tuhan Allah sudah memberikan kepada kita akal budi atau nalar, yang membuat manusia berbeda dari makhluk lain. Pekerjaan akal budi salah satunya dalam kaitannya dengan situasi sekarang ini adalah usaha-usaha dan berbagai upaya dengan mencegah Virus Corona (Covid-19): di mana semua orang diminta untuk menjaga jarak ( social distancing ) dan bahkan physical distanding , lalu dengan menjaga kebersihan, memakai hand sanitizer . Di samping itu, dengan pertimbangan akal budi, maka ditiadakannya semua kegiatan yang membuat orang berkerumun, termasuk meniadakan kegiatan keagamaan yang berkerumun di tempat ibadah dan dilakukan secara online dari rumah masing-masing ( live streaming/daring ). Dengan memperhatikan semua situasi dan kondisi yang sedang dihadapi saat ini, maka beriman dan beragama di tengah bencana Virus Corona dapat dilakukan dengan mengedepankan pilihan tindakan melalui pertimbangan iman dan akal budi. Dikatakan demikian karena, orang beriman sejati adalah orang beragama yang menjadikan iman berjalan seiring dengan akal budi, tanpa mengurangi esensi dari kegiatan beragama dan beriman di tengah Virus Corona yang sedang dialami saat ini. Goris Lewoleba Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, Dewan Pakar dan Juru Bicara VOX POINT INDONESIA.